Tiga Macam Umat
Menurut Guru kami Hazrat Syaikh Muhammad Irfa’i Nahrawi an-Naqsyabandi Qs, umat itu bisa diklasifikasikan dalam tiga macam; pertama, ummatum mutaba’ah (umat islam yang dilihat dari caranya mengikuti sikap dan perilaku Nabi SAW), yaitu sekelompok umat yang praktek keberislamannya sepenuhnya mengikuti Rasulullah SAW secara totalitas (kaffah), yang dalam upaya mereka mengikuti Rasulullah SAW menjalankan sunahnya secara keseluruhan, baik dalam aqwal-nya (perkataannya), af’al-nya (perbuatannya) maupun ahwal-nya (kondisi batinnya). Sebagaimana disampaikan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “asy-syari’atu aqwaly, Ath-thoriqotu af’aly, wa al-ma’rifatu ahwaly”.
Kelompok kedua, ummatul ijabah (umat islam yang dilihat dari penerimaannya pada dakwah Nabi SAW) adalah umat yang telah menerima Islam dengan berbagai variasi dan tingkat penerimaannya. Jadi, siapa pun ia yang telah memeluk islam termasuk ke dalam kategori ini. Apa pun aliran dan bagaimana pun corak praktek amaliyahnya ia termasuk umat islam. Setiap kelompok yang ada dalam kategori ini menjalankan Islam sesuai interpretasi dan ijtihadnya masing-masing.
Ketiga, menurut beliau, sebagaimana disampaikan oleh Hazrat Syaikh Ahmad Faruk Imam Sirhindi an-Naqsyabandi Qs, adalah ummatud dakwah, adalah semua umat manusia di bumi raya ini yang telah mendengar atau mengetahui keberadaan Rasulullah SAW dan Islam yang dibawanya. Dalam kondisi teknologi informasi yang serba canggih ini, diyakini semua manusia, sedikit banyak, telah mendengar dan tahu tentang adanya Islam.
Dengan pemahaman kategorial di atas, maka sudah seharusnya seorang ulama mampu memilah dan memilih metode penyampaian dan kadar ajaran yang bisa disampaikan kepada sasaran dakwahnya. Sebagaimana dianjurkan dalam hadits untuk “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar (takaran kemampuan) berpikir mereka”, (HR. Muslim) dengan tiga cara memandang umat di atas kiranya bisa dijadikan kerangka paradigmatik untuk mengelaborasi metode dan materi dakwah yang sejuk, efektif dan tidak terjebak pada keadaan “taktik memakan strategi” atau syariat dakwah memakan hakikat dakwah itu sendiri. Hakikat (tujuan) dakwah yang untuk menciptakan tatanan yang “rahmatan lil ‘alamin” justru menjadi bumerang yang merusak tatanan yang sudah damai tenteram akibat kesembronoan cara dan materi berdakwahnya.
Dari sini pula para ulama menerapkan konsep (wilayat) kewalian dalam arti yang profan, yaitu lingkar (wilayah) pengaruh (circle of influence). Betapa tingginya kearifan para ulama yang telah melihat hikmah seperti ini dan dijalankan sebagai kerangka berdakwahnya. Sehingga ia hadir tidak sebagai penghardik yang menakutkan, tapi muncul sebagai pusat mahabbah yang menarik perhatian para calon pengikutnya. Sering kita dengar istilah, “Janganlah kau mengalungkan intan permata pada kambing, tak akan ada gunanya”. ini merujuk pada bagaimana seorang ahli hikmah mampu menempatkan khazanah ilmu ma’rifatnya hanya pada lubuk hati yang tepat, bahkan di antara murid-muridnya sendiri. Ini juga yang menjadi petunjuk bagi kita mengapa ajaran-ajaran yang mendalam dari pada ulama-ulama tersebut justru jarang hadir dalam gempita keagamaan populer.
Bagaimanapun, popularisme tidak pernah menawarkan kedalaman. Ia hanya menyuguhkan sensasi kegempitaan, pemuasan pada logika dan wawasan serta histeria sesaat. Sebagaimana kehebohan yang dipertontonkan dari kehadiran seorang pendakwah internasional terkini ia hanya mengisi ruang kosong diskursif publik yang memang sepi dari wacana-wacana berbobot selama ini. Tarian retorika hanya mampu menyentuh ruang-ruang pemahaman dan wawasan, ia tak akan mampu mengubah sikap (memperlembut jiwa) misalnya, apalagi sanggup menyingkap rahasia-rahasia hikmah melalui pembersihan hati seorang muslim. Artinya, secara spiritual tak akan ada transformasi signifikan. Mana mungkin transformasi rohaniah bisa terjadi hanya bermodalkan asupan penafsiran tekstual, sementara hati memerlukan nutrisi yang sifatnya spiritual. Dengan kata lain, penghadiran wa
No comments: